Bukan Asli Betawi, "Lu", "Gue", "Cincong" Terpengaruh Kultur Tionghoa

Foto: Kompas.com

Detil.co,Jakarta - Eksistensi warga keturuan Tionghoa sudah diakui oleh penduduk Indonesia, terutama warga Jakarta.
Sejak ratusan tahun silam, penduduk etnis Tionghoa sudah tinggal di Jakarta, bersosialisasi dan bercengkrama akrab dengan pribumi.

Hal tersebut rupanya juga berpengaruh terhadap sejarah dan kebudayaan di Jakarta sendiri. Jika kita menengok ke kawasan Pasar Baru, Glodok hingga Kota, tampak jelas bentuk bangunan bergaya khas Tionghoa berjajar rapi di sepanjang jalan.

Ada yang disulap jadi toko, ada juga yang dibiarkan menjadi cagar budaya.
Begitu juga dengan makanan, gaya bicara, hingga pakaian sedikit banyak mempengaruhi kehidupan warga Jakarta sampai saat ini.

Yang paling terasa adalah penggunaan kata–kata. Rupanya banyak dari kita tidak sadar bahwa sebagian kata yang kita pakai sehari–hari lahir dari bahasa Tionghoa pada zamanya.

Yang paling dekat yakni penggunaan kata “lu” dan “gue”.

Siapa sangka jika bahasa yang kerap dipakai anak muda sampai sekarang ini berasal dari kebudayaan Tionghoa.

Hal tersebut dipaparkan Alwi Shahab dalam bukunya yang berjudul “Waktu Belanda Mabuk, Lahirlah Batavia”.

Dikutip dari Kompas.com, kata “cingcay” dan “cingcong” juga terkadang kita pakai dalam bahasa pergaulan sehari–hari. “Cingcay” biasa diartikan untuk menutup sebuah percakapan yang berarti “sudah lah”.

Sedangkan “cingcong” kerap dipakai untuk menyebut seseorang yang banyak bicara (banyak cingcong).

Beberapa nama yang kita anggap sebagai bahasa asli Betawi juga ternyata merupakan bahasa Mandarin. Salah satunya “engcang” yang berarti paman dan “encing” yang berarti bibi.

Selain itu, nama–nama makanan yang akrab di telinga kita rupanya berasal dari bahasa Mandarin.

Contohnya seperti teh, kecap, juhi, lobak, kue, kucai, lengkeng, kuaci dan tengteng merupakan nama–nama jenis makanan.

Menu hidangan utama yang sering kita santap sehari–hari pun ternyata ada yang berasal dari nama yang kerap dipakai etnis Tionghoa.

Contohnya bakso, somay, lumpia, capcay, bachang, tongseng, mie, puyunghai.

Bahkan, soto yang selama ini dianggap sebagai makanan khas Indonesia ternyata merupakan nama dari bahasa Mandari.

Beranjak dari makanan, ternyata hal yang sama juga terjadi dalam pemberian nama beberapa benda atau perabotan rumah tangga.

Nama–nama barang yang berasal dari bahasa Mandarin pun tercatat dalam buku sang budayawan, Ridwan Saidi yang berudul “Profil Orang Betawi”.

Beberapa di antaranya teko, piso (pisau), cawan, kemoceng, langkan (semacam bale – bale), pangkeng (kamar), cita, topo (alat pembersih kain), anglo (alat masak), kasut (kaos kaki), lonceng, loteng, sampan bakiak, wayang, gincu, genteng dan masih banyak lagi.

Tidak bisa dipungkiri, warga turunan Tionghoa memang sudah tidak asing lagi dengan kegiatan dagang berdagang.

Aktivitas jual beli sudah sejak lama dilakukan di Jakarta sehingga sedikit banyak mempengaruhi bahasa warga setempat dalam berniaga.
Baca juga: Merawat Keberagaman dan Kebaikan Lewat Tradisi Patekoan di Glodok

Hal tersebut lah yang membuat munculnya beberapa istilah dari bahasa Cina yang akrab ditelinga.

Beberapa diantaranya gotun (lima rupiah), captun (sepuluh rupiah), cepek (seratus rupiah), seceng (seribu rupiah), ceban (sepulu ribu rupiah) dan masih banyak lagi.

Banyaknya bahasa Cina yang kita adaptasi membuktikan bahwa masyarakat memang sudah menyatu dengan warga keturunan Tionghoa. Itu juga yang menandakan warga pribumi dan pendatang dapat tinggal secara bersamaan dengan rukun dan damai.

Kita berharap rasa kebersamaan dan saling menghargai ini bisa terus terjalin hingga selamanya. Dengan hidup berdampingan, niscaya hidup rukun tanpa keributan atau konflik akan selalu kita nikmati hingga selamanya.***


[Ikuti Detil.co Melalui Sosial Media]




Tulis Komentar