9 Golongan Orang yang Tidak Diwajibkan Puasa dalam Islam

Kamis, 13 Mei 2021

Syariat memang mewajibkan puasa di bulan Ramadhan. Akan tetapi, Allah memberi keringanan dan tidak menghendaki kesulitan bagi hamba-Nya. Foto/Ist

Detil.co - Bulan Ramadhan merupakan bulan istimewa bagi umat Islam. Syariat mewajibkan puasa di bulan ini sebagaimana perintah Allah dalam Al-Qur'an:

"Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa." (Al-Baqarah: 183)

Namun demikian, Allah memberikan keringanan dan tidak menghendaki kesulitan bagi hamba-Nya. Ada beberapa golongan orang-orang yang tidak diwajibkan menunaikan ibadah puasa Ramadhan.

Dilansir dari Sindonews.com, berikut 9 golongan orang yang dibolehkan untuk tidak puasa dikutip dari buku "Fiqih Praktis Puasa Buya Yahya".

1. Anak kecil
Maksudnya di antara orang yang boleh tidak berpuasa adalah anak yang belum baligh. Tanda baligh ada tiga, yaitu:

- Keluar mani (bagi anak laki-laki dan perempuan) pada usia 9 tahun Hijriah.
- Keluar darah haid pada usia 9 tahun Hijriah (bagi anak perempuan).

- Jika tidak keluar mani dan tidak haid maka ditunggu hingga umur 15 tahun. Jika sudah genap 15 tahun maka ia disebut dengan telah baligh dengan usia, yaitu genap usia 15 tahun Hijriyah.

2. Orang Gila
Orang gila tidak wajib berpuasa. Seandainya berpuasa maka puasanya pun tidak sah. Dalam hal ini, ulama membagi orang gila menjadi dua macam, yaitu:

- Orang gila dengan disengaja.

Orang gila yang disengaja jika berpuasa maka puasanya tidak sah dan wajib mengqadha. Sebab sebenarnya ia wajib berpuasa, kemudian ia telah dengan sengaja membuat dirinya gila. Kesengajaan inilah yang membuatnya wajib mengqadha puasanya setelah sehat akalnya.

- Orang gila yang tidak disengaja.

Orang gila yang tidak disengaja tidak wajib berpuasa. Seandainya berpuasa maka puasanya tidak sah dan jika sudah sembuh dia tidak berkewajiban mengqadha, karena gilanya bukan disengaja.

3. Orang Sakit
Orang sakit boleh meninggalkan puasa. Adapun ketentuan bagi-orang sakit yang boleh meninggalkan puasa adalah:
Sakit parah yang memberatkan untuk berpuasa yang berakibat semakin parahnya penyakit atau lambatnya kesembuhan. Yang bisa menentukan sakit seperti ini adalah dokter muslim yang terpercaya. Atau berdasarakan pengalamannya sendiri.

Catatan:
Dalam hal ini, tidak terbatas kepada orang sakit saja. Akan tetapi, siapa pun yang sedang berpuasa lalu menemukan dirinya lemah dan tidak mampu untuk berpuasa dengan kondisi yang membahayakan terhadap dirinya maka saat itu pun dia boleh membatalkan puasanya.
 
Akan tetapi, ia hanya boleh makan dan minum seperlunya, kemudian wajib menahan diri dari makan dan minum seperti layaknya orang berpuasa. Berbeda dengan orang sakit, ia boleh berbuka dan boleh makan sepuasnya untuk memulihkan kesehatannya.

4. Orang Tua (lanjut usia)
Orang tua (lanjut usia) yang berat untuk melakukan puasa diperkenankan untuk meninggalkan puasa. Dalam hal ini, tidak ada batasan umur. Akan tetapi, asalkan betul-betul puasa memberatkan baginya hingga sampai membahayakan maka ia boleh berbuka puasa.

5. Musafir (Bepergian)
Semua orang yang bepergian boleh meninggalkan puasa dengan ketentuan sebagai berikut ini:

- Tempat yang dituju dari tempat tinggalnya tidak kurang dari 84 km.

- Di pagi (saat Shubuh) hari yang ia ingin tidak berpuasa, ia harus sudah berada di perjalanan dan keluar dari wilayah tempat tinggalnya (minimal batas kecamatan).

Misalnya:
Seseorang tinggal di Cirebon ingin pergi ke Semarang. Jarak antara Cirebon - Semarang adalah 200 km (tidak kurang dari 84 km). Ia meninggalkan Cirebon pukul 2 malam (Sabtu dini hari). Subuh hari itu adalah pukul 4 pagi. Pada pukul 4 pagi (saat Subuh) ia sudah keluar dari Cirebon dan masuk Brebes.
 
Maka, di pagi hari Sabtunya ia sudah boleh meninggalkan puasa. Berbeda jika berangkatnya ke Semarang setelah masuk waktu Subuh, Sabtu pagi setelah masuk waktu Subuh masih di Cirebon.

Maka, di pagi hari itu ia tidak boleh meninggalkan puasa karena sudah masuk Subuh ia masih ada di rumah. Akan tetapi ia boleh meninggalkan puasa di hari Ahadnya, karena di Subuh hari Ahad ia berada di luar wilayahnya.

Catatan:
Seseorang dalam bepergian akan dihukumi mukim (bukan musafir lagi) jika ia niat tinggal di suatu tempat lebih dari 4 hari. Misalnya, orang yang pergi ke Semarang yang tersebut dalam contoh, saat ia sampai di Tegal ia sudah boleh berbuka dan setelah sampai di Semarang juga tetap boleh berbuka, asalkan ia tidak bermaksud tinggal di Semarang lebih dari 4 hari.
 
Jika ia berniat tinggal di Semarang lebih dari 4 hari maka semenjak ia sampai di Semarang, ia sudah disebut mukim dan tidak boleh meninggalkan puasa dan juga tidak boleh meng-qashar sholat.

Untuk dihukumi mukim tidak harus menunggu 4 hari seperti kesalahpahaman yang terjadi pada sebagian orang. Akan tetapi, kapan ia sampai tempat tujuan yang ia niat akan tinggal lebih dari 4 hari, ia sudah disebut mukim.

Yang dihitung empat hari di sini adalah empat hari utuh, tidak dihitung hari masuk dan hari keluar, misal hari Rabu siang dia sudah sampai di Semarang maka boleh dihitung hari pertama adalah malam Kamis, hari kedua adalah malam Jumat, hari ketiga adalah malam Sabtu, hari keempat adalah malam Ahad, dan dia keluar hari Senin maka hari Rabu saat ia datang dan hari Senin saat dia keluar tidak dihitung.

Begitu juga jika ada orang datang hari Sabtu siang, kemudian keluar hari Sabtu siang pekan berikutnya maka dua hari Sabtu tersebut tidak dianggap, sebab itu adalah hari keluar dan hari masuk yang tidak dihitung.

6. Perempuan Hamil
Orang hamil yang khawatir akan kondisi dirinya atau janin (bayinya).

7. Orang Menyusui

Orang menyusui yang khawatir akan kondisi dirinya atau kondisi bayi yang masih di bawah umur 2 tahun Hijriyah. Bayi di sini tidak harus bayinya sendiri, tetapi bisa juga bayi orang lain.

8. Perempuan Haid
Wanita yang sedang haid tidak wajib berpuasa, bahkan jika berpuasa, puasanya pun tidak sah bahkan dianggap haram hukumnya.

9. Nifas
Wanita yang sedang nifas tidak wajib berpuasa. Jika berpuasa puasanya pun tidak sah bahkan dianggap haram hukumnya.***