Kasus Stunting Tertinggi Terdata di Kelurahan Pesisir

Kepala Dinas Kesehatan Kota Pekanbaru, Zaini Rizaldi. Foto: Detil.co

Detil.co,Pekanbaru - Status gizi di Indonesia, terutama pada balita, masih menjadi permasalahan di antaranya masalah gizi kurang, gizi buruk serta stunting. Stunting atau biasa disebut dengan balita pendek merupakan indikasi buruknya status gizi dan digunakan sebagai indikator jangka panjang untuk gizi kurang pada anak. 

Demikian dikatakan Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Pekanbaru Dokter Zaini Rizaldy, Jumat (7/1/2022). 

"Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita akibat kekurangan gizi kronis terutama pada 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK). Periode 1000 hari pertama kehidupan (1000 HPK) merupakan simpul kritis sebagai awal terjadinya pertumbuhan stunting, yang sebaliknya berdampak jangka panjang hingga berulang dalam siklus kehidupan," ujarnya. 

Bila masalah ini bersifat kronis, maka akan mempengaruhi fungsi kognitif yakni tingkat kecerdasan yang rendah dan berdampak pada kualitas sumber daya manusia. Pada kondisi berulang (dalam siklus kehidupan), maka anak yang mengalami kurang gizi di awal kehidupan (periode 1000 HPK) memiliki risiko penyakit tidak menular pada usia dewasa.

Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya stunting pada balita. Faktor-faktor tersebut saling berhubungan satu dengan yang lainnya. 

"Menurut Unicef Framework ada tiga faktor utama penyebab stunting yaitu asupan makanan yang tidak seimbang, Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) dan riwayat penyakit. Intervensi yang paling menentukan untuk dapat mengurangi prevalensi stunting adalah intervensi yang dilakukan pada 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK)," ungkap Dokter Bob, sapaan akrabnya. 

Upaya penurunan stunting dilakukan melalui dua intervensi yaitu gizi spesifik untuk mengatasi penyebab langsung dan intervensi gizi sensitif untuk mengatasi penyebab tidak langsung. Selain mengatasi penyebab tersebut, makan diperlukan faktor pendukung yang mencakup komitmen politik dan kebijakan untuk pelaksanaan, keterlibatan pemerintah dan lintas sektor, serta kapasitas untuk melaksanakan. 

"Penurunan stunting memerlukan pendekatan yang menyeluruh, yang harus dimulai dari pemenuhan prasyarat pendukung," ucap Dokter Bob. 

Pemko Pekanbaru menangani permasalahan stunting melalui perbaikan gizi pada 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) dengan menggencarkan sosialisasi ASI eksklusif, pendidikan gizi untuk ibu hamil, pemberian TTD untuk ibu hamil, Inisiasi Menyusui Dini (IMD), Pemberian Makan pada Bayi dan Anak (PMBA), program penyehatan lingkungan, penyediaan sarana, dan prasarana air bersih dan sanitasi.

Berdasarkan data 2021, persentase kasus balita stunting tertinggi terdapat di Kecamatan Limapuluh sebanyak 76 kasus (7,29%), Kecamatan Payung Sekaki sebanyak 26 kasus (2%), dan Kecamatan Rumbai Barat sebanyak 30 kasus (1,91%). Sedangkan persentase stunting terendah terdapat di Kecamatan Kulim sebanyak 2 kasus (0,08%).

Bila dibandingkan dengan data 2020, persentase kasus balita stunting tertinggi terdapat di Kecamatan Sail sebanyak 62 kasus (9,06%), Kecamatan Limapuluh sebanyak 101 kasus (7,18%), dan Kecamatan Tenayan Raya sebanyak 231 kasus (3,41%). Sedangkan persentase stunting terendah terdapat di Kecamatan Senapelan sebanyak 5 kasus (0,38%).

Berdasarkan Perwako Nomor 134 Tahun 2021 tentang Konvergensi Percepatan Pencegahan dan Penurunan Stunting maka ditetapkan 15 Kelurahan dari 83 kelurahan yang menjadi lokasi fokus Stunting pada tahun 2020/2021. Berdasarkan data pada 2020, kasus stunting tertinggi terdapat di Kelurahan Suka Mulia (11,59%), Melebung (10,39%), dan Tanjung Rhu (8,70%). 

Sedangkan prevalensi stunting tertinggi tahun 2021 terdapat di Kelurahan Pesisir (11,31%), Tanjung Rhu (6,67%), dan Rumbai Bukit (4,22%). Prevalensi stunting yang terendah terdapat di Kelurahan Lembah Sari (1,33%) dan Rejosari (0,30%). Terdapat 1 kelurahan yang mengalami kenaikan prevalensi stunting dari tahun 2020 ke tahun 2021 yaitu Kelurahan Pesisir.

Hal ini dikarenakan Kelurahan Pesisir berada di wilayah pinggiran sungai. Sehingga, akses sanitasi dan PHBS yang kurang baik di tingkat rumah tangga serta lingkungan yang tidak bersih akan membuat balita mudah terkena penyakit infeksi yang berulang. 

"Selain itu, faktor ekonomi masyarakat di daerah tersebut tergolong menengah ke bawah. Ditambah lagi dengan kondisi pandemi Covid-19 yang mempengaruhi pemenuhan gizi masyarakat terutama balita berkurang sehingga mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan balita," jelas Dokter Bob.(Detil.co*)


[Ikuti Detil.co Melalui Sosial Media]




Tulis Komentar